Jakarta, innews.co.id – Penegakkan hukum di Indonesia harus dimulai dengan membenahi sistemnya terlebih dahulu. Salah satunya dengan membenahi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sesuai dengan perkembangan zaman, kebutuhan masyarakat dan mencapai model penegakkan hukum yang ideal.
“Hukum pidana merupakan salah satu etalase hukum di Indonesia yang mendapat atensi besar sari masyarakat. Karena itu, dipandang perlu untuk merevisi hukum acara pidananya,” kata Sekretaris Jenderal Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Rivai Kusumanegara, SH., MH., yang dikutip dari podcast-nya, Kamis (23/5/2025).

Bahkan, Ikadin secara khusus membentuk tim untuk mengkaji hal tersebut, di mana Rivai diamanahkan menjadi ketua timnya. “Kami sudah menyelesaikan kajian terhadap revisi UU KUHAP dan telah diserahkan ke pemerintah dan DPR,” tambahnya.
Dijelaskan UU KUHP sudah mulai berlaku per 1 Januari 2026. Namun, itu tidak bisa running kalau KUHAP tidak segera diselesaikan. Karenanya, sekarang harus dikebut.
Rivai menjelaskan, pada KUHAP lama, orang yang diperkarakan, ditahan dulu, baru, orang tersebut melakukan praperadilan (justice delay justice deny). Lalu diwacanakan sekitar 15 tahun untuk dimasukkan ke KUHAP baru bahwa sebelum memulai proses persidangan ada forum pendahuluan yang membahas perkara dan perlu tidaknya seseorang ditahan.
“Model yang diajukan ini belum bisa diterima oleh penegak hukum yang lain. Terjadi tarik menarik kepentingan dari penegak hukum existing yang membuat KUHAP jalan di tempat. Terakhir, Komisi III DPR RI melayangkan draft revisi KUHAP yang kebanyakan tidak jauh berbeda dengan yang lama. Hanya berbeda sekitar 25% saja dibanding yang lama,” urai Managing Partner Kantor Hukum Kusumanegara & Partners ini.
Berkaca pada hal tersebut, Ikadin memberikan sumbangsih pemikiran agar KUHAP menjadi lebih modern. Jalan tengah yang diambil adalah memperkuat peran advokat. “Kami coba memasukkan banyak peran advokat, baik terhadap pelapor maupun terlapor,” imbuhnya.
Bagi Rivai, penguatan peran advokat juga diiringi dengan tanggung jawab yang besar. Dalam hal ini bagaimana membuat para advokat amanah dalam menjalankan kewenangannya, bukan malah mengacaukan sistem penegakkan hukum.
Demikian juga terkait hak imunitas advokat, menurut Rivai, tidak bisa disalahgunakan. Namun, itu akan dibahas lebih detail pada revisi UU Advokat.
Terkait pemberlakuan restorative justice (RJ) terhadap pengguna narkoba, Rivai beranggapan, sebrnarnya mereka korban dari peredaran narkoba. “Jauh lebih baik pengguna narkoba direhabilitasi. Sebab kalau dimasukkan ke penjara, bukan tidak mungkin akan semakim parah karena di sel juga bisa terjadi transaksi narkoba,” tutur Ketua Dewan Kehormatan Daerah Peradi DKI Jakarta ini.
Saat ini, penghuni penjara terbanyak adalah pengguna narkoba. “Konsep RJ pada RUU KUHAP hanya diberikan kepada mereka yang pertama menggunakan narkoba. Kalau sudah lebih dari satu kali, langsung dipenjara, bahkan kalau perlu hukumannya ditambahkan. Selama ini tidak ada data apakah seseorang itu baru pertama kali melakukan tindak pidana atau sudah lebih dari satu kali. Kami usulkan agar data pengguna yang baru pertama melakukan tindak pidana dikumpulkan di JPU sehingga bisa terkontrol,” paparnya.
Rivai menegaskan, konsep RJ juga bisa diberlakukan untuk tindak pidana lainnya, tidak sebatas pengguna narkoba saja. (RN)