Imparsial Desak DPR Hentikan Pembahasan RUU TNI dan RUU Polri

Imparsial minta rencana pembahasan RUU TNI dan RUU Polri dihentikan

Jakarta, innews.co.id – Pengajuan Surat Presiden (Surpres) tentang RUU TNI dan RUU Polri menunjukan bahwa pemerintah dan DPR mengabaikan kritik dan masukan dari masyarakat sipil untuk tidak melanjutkan pembahasan kedua RUU tersebut.

“Selain sebagai nentuk pemaksaan yang berpotensi berdampak terhadap diabaikannya partisipasi publik, mengingat masa bakti DPR Periode 2019-2024 tidak lama lagi akan berakhir, juga substansi usulan perubahan dalam kedua RUU tersebut memiliki sejumlah persoalan yang serius yang dikhawatirkan akan memundurkan agenda reformasi TNI dan Polri,” kata Gufron Mabruri, Direktur Imparsial, dalam siaran persnya yang diterima innews, Kamis (11/7/2024).

Menurutnya, pembahasan RUU TNI dan RUU Polri berkaitan dengan kepentingan masyarakat secara luas. Karena itu menjadi penting bagi DPR RI untuk benar-benar mempertimbangkan kritik, saran, dan masukan dari masyarakat sipil mengingat mereka yang akan terdampak langsung oleh penerapan kedua UU tersebut.

“Kami sangat khawatir di tengah waktu yang singkat tersebut, pembahasan RUU TNI dan RUU Polri cenderung transaksional sehingga mengabaikan partisipasi dari kalangan masyarakat sipil,” ujarnya kritis.

Sedari awal, lanjut Gufron, rencana revisi UU Polri dan UU TNI telah mengabaikan asas keterbukaan yang diharuskan oleh undang-undang. Tidak ada keterbukaan kepada masyarakat sebagai pihak yang terdampak dari kedua RUU tersebut dan baru diketahui setelah DPR mengesahkan kedua RUU tersebut sebagai usul inisiatif DPR RI.

Padahal, pelibatan partisipasi publik merupakan aspek penting dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan.

“Pada pasal 5 huruf g UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ditegaskan ada tujuh asas yang harus dipenuhi dalam pembentukan UU, salah satunya adalah Asas Keterbukaan. Pada bagian penjelasan, yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangannya (termasuk pemantauan dan peninjauannya), memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan),” urainya.

Dikhawatirkan, pembahasan kedua regulasi itu berpotensi mengabaikan partisipasi publik dan berdampak pada lahirnya aturan perundang-undangan yang anti-kritik dan represif.

Gufron mengatakan, pihaknya juga menilai secara substansi RUU TNI dan RUU Polri memiliki usulan perubahan yang bermasalah. Alih-alih mendorong perbaikan dan menjadikan TNI dan Polri lebih profesional, sejumlah usulan perubahan yang ada akan membuat kedua institusi tersebut semakin menjauh dari kepentingan dan mandat reformasi, jika diakomodir oleh DPR.

“Karenanya penting bagi Pemerintah dan DPR untuk benar-benar mencermati kritik, saran dan masukan dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Jangan sampai DPR menghasilkan produk legislasi yang merusak prinsip negara hukum, mengancam demokrasi dan hak asasi manusia,” tegasnya.

Imparsial mendesak DPR RI untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU TNI dan RUU Polri di sisa masa periode yang tidak banyak. “Di tengah masa baktinya yang akan berakhir, sebaiknya DPR dan pemerintah memfokuskan pada upaya evaluasi dan perbaikan terhadap berbagai praktik penyimpangan dalam pelaksana tugas TNI/Polri dan mendorong agenda reformasi yang tertunda,” pungkasnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan