Jakarta, innews.co.id – Sejatinya, perjuangan Raden Ajeng Kartini bagi emansipasi perempuan cukup berhasil. Terbukti, di masa kini, sudah banyak perempuan yang berhasil menduduki posisi strategis, bahkan berada di tempat yang selama ini selalu menjadi langganan kaum pria.
Sayangnya, banyak perempuan masa kini yang justru terpenjara oleh karena ketidakadilan. Salah satunya Karen Agustiawan mantan Direktur Utama Pertamina, yang harus berada dibalik jeruji besi oleh karena putusan yang absurb.
“Saya sangat sedih karena jelang Hari Kartini, justru ada seorang perempuan yang selama meniti karir telah berbuat banyak bagi bangsa dan negara. Namun, justru harus mendekam di hotel prodeo lantaran diduga bukan saja ada permainan politik, campur tangan kekuasaan, dan tekanan eksternal, tapi juga ketidakpahaman substantif hukum oleh para aparat penegak hukum,” kata advokat dan aktivis perempuan Nur Setia Alam Prawiranegara, dalam keterangan persnya menyambut Hari Kartini, di Jakarta, Minggu (20/4/2025).
Menurutnya, selama ini Karen telah mengabdi dan memberikan kontribusi besar kepada negara, namun kini seolah “dihilangkan” dari catatan sejarah, bahkan ingin “dilenyapkan”.
Sosok berintegritas dan loyal
Salah satu pendiri Indonesia Feminist Lawyers Club (IFLC) ini menguraikan, sosok pemilik nama lengkap Ir. Hj. Galaila Karen Kardinah dan dikenal dengan Karen Agustiawan adalah seorang pelopor, visioner energi, dan simbol integritas. Dia lahir di Bandung, 19 Oktober 1958 dari keluarga terdidik. Ayahnya, Prof. Soemiatno MD., dikenal sebagai dokter Indonesia pertama di WHO dan Guru Besar FK Universitas Padjajaran. Semasa kuliah di ITB, Karen dikenal tegas, percaya diri, dan berintegritas tinggi.
Dalam hidupnya, Karena berprinsip, “Knowledge is power, but character is more”.
Catatan karirnya begitu gemilang. Ia pernah bekerja di perusahaan migas kelas dunia seperti, Mobil Oil Indonesia, Mobil Oil Dallas (Meptec), CGG Petrosystem, Halliburton, hingga Landmark CSI.
Baru pada 2006, Karen bergabung ke Pertamina. Pada 2009, dirinya menorehkan sejarah sebagai Direktur Utama perempuan pertama di Pertamina. Inovasi demi inovasi dia lakukan di Pertamina.
Misal, konversi minyak tanah ke LPG yang menghemat ratusan triliun rupiah subsidi; akuisisi aset migas luar negeri untuk mengurangi impor, seperti BP ONWJ, Blok West Qurna (Irak), dan lapangan MLN, Ourhoud, El Merk (Aljazair). Juga peningkatan produksi dalam negeri. Merampungkan proyek strategis seperti Donggi-Senoro LNG, FSRU Nusantara Regas, RFCC Cilacap, pipa Arun–Belawan, dan lain-lain.
Karen juga menggagas Refinery Development Master Plan (RDMP), serta membentuk War Rooms lintas divisi dan unit untuk mempercepat pengambilan keputusan strategis.
Dirinya memiliki visi menjadikan Indonesia sebagai pusat LNG Asia, sejalan dengan amanat Perpres No. 5 Tahun 2006. Ini bukan sekadar soal bauran energi, tetapi strategi geopolitik jangka panjang untuk memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global.
Berkat kinerja gemilangnya, nilai aset Pertamina melonjak hampir dua kali lipat dan masuk daftar Fortune Global 500 Corporate di tahun 2012 dan 2013, menyalip perusahaan besar dunia seperti Google, PepsiCo, Sony dan BMW.
Kerja kerasnya membuat Karen dinobatkan sebagai 50 Most Powerful Businesswomen versi Forbes (2012) dan peringkat ke-6 Perempuan Paling Berpengaruh Dunia versi Fortune (2013).
Namun, prestasinya tersebut tak lepas dari ancaman. Pada 2018, Karen dituduh korupsi atas akuisisi saham Blok BMG di Australia. Padahal, tuduhan ini lemah secara bukti dan keliru memahami bisnis hulu migas yang memang penuh risiko dan tidak dapat dinilai dalam waktu singkat.
Hanya dua tahun sejak akuisisi, proyek dihentikan berdasarkan keputusan komisaris yang tidak memahami karakteristik sektor hulu. Dampaknya, Karen divonis 8 tahun dan denda Rp 1 miliar. Setelah 555 hari ditahan, Mahkamah Agung memutuskan Karen tidak bersalah. Akuisisi adalah keputusan bisnis yang sah, bukan tindak pidana.
Ironisnya, dua tahun kemudian, Karen kembali dijerat dalam kasus pengadaan LNG dari Corpus Christi, AS (SPA 2013-2014). Padahal, kontrak itu telah dibatalkan dan digantikan oleh kontrak baru (SPA-2015) yang dijalankan oleh direksi penerus.
Kerugian negara justru baru terjadi di masa pandemi (2020–2021), di mana Karen sudah tidak menjabat di Pertamina. Kasusnya bergulir hingga MA. Dalam putusan kasasi malah memperberat vonis Karen menjadi 13 tahun penjara dan denda Rp 650 juta.
Putusan tersebut tampak absurd karena tak ditemukan mens rea (niat jahat) maupun actus reus (perbuatan melawan hukum). Lebih lagi, Karen secara faktual sudah tidak memiliki kewenangan apapun saat kerugian terjadi.
Kontrak LNG itu sendiri justru kini mencetak keuntungan sekitar USD 100 juta hingga akhir 2024, dan masih akan berlangsung hingga 2040.
Karen bahkan telah melindungi Indonesia dari perang tarif LNG dan krisis pasokan yang mengancam ketahanan energi nasional.
“Patut dipertanyakan, mengapa negara tidak memberi penghargaan atas kerja keras tersebut, malah menenggelamkannya?” seru Setia Alam.
Lepas dari kentalnya nuansa politis dan tekanan dari luar, Setia Alam menilai ada ketidakpahaman substantif hukum oleh para aparat penegak hukum.
“Majelis hakim tampak hanya menjadi corong hukum, bukan corong keadilan,” tegasnya.
Ditambahkannya, kasus Karen mengandung banyak kejanggalan, bahkan bertentangan dengan semangat UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN, Pasal 4B, yang tegas menyatakan bahwa “kerugian atau keuntungan BUMN merupakan tanggung jawab BUMN itu sendiri”.
Setia Alam berpendapat, Karen Agustiawan, sang teknokrat perempuan Indonesia, seharusnya dikenang sebagai tokoh visioner yang menjunjung integritas dan inovasi di tengah gelombang tekanan yang melandanya.
“Ia adalah bagian penting dari sejarah energi nasional, terutama dalam perjuangan perempuan Indonesia,” tuturnya. Benar apa yang dikatakan Presiden RI pertama Soekarno, ‘Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri’.
Menyitir ucapan Kartini, Setia Alam mengatakan, “Terkadang, kesulitan harus kamu rasakan terlebih dulu sebelum kebahagiaan yang sempurna datang kepadamu. Habis gelap, terbitlah terang”. (RN)