Jakarta, innews.co.id – Dunia peradilan di Indonesia bak masuk pada zaman kegelapan (dark ages). Hal ini nampak dari putusan hakim yang dianggap kerap kali mengingkari fakta yang ada. Disinyalir, munculnya praktik suap di pengadilan mirip teori ekonomi karena ada demand dan supply.
Seperti terjadi di Surabaya, di mana seorang penganiaya yang menyebabkan hilangnya nyawa orang, malah divonis bebas. Juga beberapa hakim terseret pada pusaran suap yang dilakukan oleh 3 perusahaan cruel palm oil (CPO). Bahkan, menurut data Indonesian Corruption Watch (ICW), periode 2011-2024 ada 29 hakim yang terjerat praktik korupsi dan suap. Banyak perkara lainnya mengalami nasib serupa.
Tak heran, banyak pihak menilai dunia peradilan Indonesia tengah masuk pada periode kegelapan. Mantan Hakim Agung RI Prof Gayus Lumbuun dengan lugas mengatakan bahwa saat ini pengadilan seperti gua hantu.
“Hari ke hari, sepertinya semakin terpuruk kondisi peradilan kita. Sejak tahun 2014 silam, saya pernah cuatkan masalah ini dan menyebut ‘Pengadilan Seperti Gua Hantu’. Benar saja, semakin ke sini kondisinya tambah memprihatinkan,” kata Prof Gayus Lumbuun, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Jumat (18/4/2025).
Menurut Prof Gayus, data dan fakta sepertinya ikut membenarkan pernyataannya lebih dari satu dasawarsa tersebut. Dia menilai, ada 3 faktor yang mempengaruhi hakim menerima suap yakni, by needs (kebutuhan), by greedy (serakah), dan by chance (kesempatan).
Mengapa disebut gua hantu?
“Pengadilan menjadi sesuatu yang menakutkan. Orang jadi takut berurusan dengan pengadilan. Awalnya, orang masuk pengadilan untuk mencari keadilan, tapi yang didapat justru sebaliknya. Peradilan adalah lembaga yang terhormat. Bahkan, para hakim disebut sebagai wakil Tuhan yang tugasnya mulia sebagai penegak kebenaran dan keadilan (fiat justicia ruat coelum). Namun realitasnya, hakim ibarat pemungut cukai, di mana sepertinya ada potensi nilai ekonomi di setiap perkara,” urai Prof Gayus.
Kian parahnya kondisi pengadilan juga lantaran sepertinya pengawasan di internal sudah tidak mempan lagi. “Pengawasan bahkan penindakan di internal sudah tidak mempan. Perlu dilakukan evaluasi dan langkah-langkah strategis. Hanya Presiden RI sebagai Kepala Negara yang bisa membenahi keruwetan tersebut,” serunya.
Gagasan pembenahan dunia pengadilan telah disampaikan oleh Prof Gayus kepada Presiden Jokowi. Atas petunjuk Jokowi, gagasan tersebut di tahun 2024 pernah didiskusikan dengan Mahfud MD, Menkopolhukam ketika itu. Saat itu, Menkopolhukam menyatakan akan mencari 10 pakar hukum untuk mengeksekusi gagasan tersebut.
“Saya kembali mendorong gagasan ini di era Presiden Prabowo Subianto. Sebab, bila politik dan ekonomi sudah bagus, sementara hukum masih carut-marut juga bisa menjadi ancaman bagi negara kita. Salah satunya, calon investor akan takut menanamkan modalnya karena tidak ada kepastian hukum,” tambah Prof Gayus.
Pembinaan pimpinan
Lebih jauh Prof Gayus menguraikan, yang perlu dilakukan adalah melakukan pembinaan terhadap pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua) Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di Indonesia. Data menyebutkan ada 347 PN dan 30 PT, 33 Pengadilan Hubungan Industrial, 4 Pengadilan Hak Asasi Manusia, 5 Pengadilan Militer se-Indonesia, di Mahkamah Agung ada sekitar 10 pimpinan.
“Jadi, ada sekitar 800-an pimpinan pengadilan se-Indonesia yang dibina dengan harapan mereka akan meneruskan materi pembinaan kepada jajaran hakim dibawahnya,” imbuhnya.
Prof Gayus mengusulkan Presiden membuat Perppu untuk membenahi dunia peradilan di Indonesia. “Di Indonesia, sistem peradilannya berjenjang, sesuai Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Dibawahnya. Artinya, tanggung jawab pimpinan pengadilan itu sangat berat. Pun sanksi yang diberikan terhadap mereka yang melanggar sangat berat, seperti tertuang dalam Peraturan MA RI Nomor 01 Tahun 2020,” cetusnya.
Badan eksaminasi
Membenahi dunia peradilan tidaklah mudah. Prof Gayus mengusulkan Presiden perlu membentuk semacam Badan Eksaminasi Peradilan, sehingga putusan-putusan yang dibuat para hakim bisa dieksaminasi.
“Dua hal yang saya usulkan bisa menjadi pertimbangan Presiden Prabowo, yakni pembinaan di level pimpinan pengadilan dan membentuk badan eksaminasi. Saya siap memaparkan secara teknisnya bila dibutuhkan,” tukasnya.
Prof Gayus menegaskan, perlu konsep baru agar wajah pengadilan di Indonesia tidak lagi menakutkan, seperti masuk ke gua hantu. (RN)