Wamenko Otto Hasibuan Buka Seminar Nasional Peradi, Kupas Soal Arbitrase

Prof Otto Hasibuan Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan dan Ketua Umum DPN Peradi, menjadi keynote speech pada Seminar Nasional Peradi, di Peradi Tower, Jakarta, hari ini

Jakarta, innews.co.id – Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menggelar pendidikan berkelanjutan bagi para anggotanya, di Peradi Tower, Jum’at (1/11/2024). Kali ini masalah arbitrase menjadi fokus pembahasan.

Acara yang dikemas dalam bentuk Seminar Nasional ini dilakukan secara hybrid diikuti lebih dari 1.700 anggota dari seluruh Indonesia. Mengusung topik “Tips dan Trik Dalam Menangani dan Menyelesaikan Perkara Arbitrase” ini, tampil sebagai pembicara Karen Mills dari Kantor Hukum Karimsyah, Theodoor Bakker (Kantor Hukum Ali Budiarjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR), dan Prof Hikmahanto Juwana (Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani), dengan moderator Dr. Yunus Edward Manik Ketua Bidang Pendidikan, Rekomendasi, Pengawasan Advokat Asing, dan Pendidikan Spesialisasi Profesi DPN Peradi.

“Peradi secara konsisten dan kontinu mengadakan pendidikan berkelanjutan (continue legal education) bagi para anggotanya. Salah satunya tentu untuk memperkaya khasanah keilmuan, membuka wawasan serta memperlengkapi para advokat dalam menjalankan profesinya,” kata Prof Otto Hasibuan Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan RI, usai membuka acara ini.

Prof Otto menjelaskan, topik kali sangat menarik soal arbitrase, di mana bidang ini semakin digemari, khususnya oleh para pebisnis. “Saat ini, arbitrase selalu menjadi pilihan ketika ada sengketa bisnis,” tutur Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi ini.

Meski begitu, secara terbuka Prof Otto mengakui, belakangan ada tendensi, khususnya di pengadilan negeri, beberapa kali membatalkan putusan arbitrase dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

“Secara prinsip hukum, memang PN bisa membatalkan putusan BANI, tapi saya melihat banyak dipakai alasan tipu muslihat, sebagaimana di atur pada Pasal 70 UU Arbitrase. Jadi, pasal tersebut sudah menjadi sangat lentur penafsirannya,” urai Prof Otto.

Bila kondisi dibiarkan tentu akan membahayakan kepercayaan investor dan atau para pihak yang bersengketa untuk memilih menyelesaikan masalahnya di BANI. “Kalau setiap putusan BANI selalu dichallenge di pengadilan negeri dan PN memberikan pertimbangan yang tidak tepat dan akurat terkait Pasal 70 akan sangat berbahaya karena kepercayaan masyarakat akan berkurang,” tegas advokat senior yang juga dikenal sebagai Kuasa Hukum mantan Presiden RI Joko Widodo dan keluarga ini.

MA lebih ketat

Ditambahkannya, putusan pengadilan negeri berpotensi menginterfere (mengganggu) isi putusan BANI. Dan membuat perkara berlarut-larut. Karena setelah di PN, banding ke PT, dan seterusnya. Tentu sangat menguras energi pihak yang berperkara.

Pasal 70 UU Arbitrase menyebutkan, putusan BANI bisa dibatalkan dengan alasan tipu muslihat, kepalsuan, dan sebagainya.

“Saya berharap Mahkamah Agung bisa lebih ketat untuk memberikan putusan yang bisa menggugurkan putusan arbitrase. Jangan dilonggarkan. Sebab kalau dilonggarkan sama saja orang akan sulit mendapatkan rasa keadilan,” tukas Prof Otto.

Lebih jauh Prof Otto membuka peluang agar UU Arbitrase direvisi. “Beberapa pasal telah dichallenge ke Mahkamah Konstitusi. Saya akan coba mengusulkan penafsiran tipu muslihat yang terdapat pada Pasal 70 UU tersebut. Karena sumir sekali pengertiannya,” serunya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan