Jakarta, innews.co.id – Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) dengan tegas meminta penyidik Polda Metro Jaya menangkap pelaku penganiayaan terhadap Dr. Pieter Ell, saat mendampingi kliennya melihat tanah miliknya berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang sudah inkrah.
Penganiayaan terjadi pada 2 Oktober lalu. Sekitar 50 orang preman mengeroyok dan melakukan pemukulan terhadap Pieter Ell dan stafnya yang datang ke lokasi tanah bersama ahli waris yang menjadi kliennya.

“Saudara Pieter Ell dianiaya oleh sekelompok preman yang diduga suruhan PT Sayana Integra Properti (SIP), developer apartemen Sakura Garden City, di bilangan Cipayung, Jakarta Timur, saat menjalankan tugas mendampingi kliennya. Itu perbuatan bar-bar dan sangat tidak pantas,” kata Antoni Silo Ketua Bidang Pembelaan Profesi Advokat, dalam jumpa pers di Peradi Tower, Jakarta Timur, Jumat (17/10/2025).
Itu menggambarkan betapa kekerasan masih dipakai untuk menyelesaikan suatu masalah di negara ini. “Seorang advokat dalam menjalankan tugasnya dengan itikad baik tidak boleh diperlakukan semena-mena, apalagi sampai terjadi pemukulan dan penganiayaan,” ujarnya.
Usai dianiaya, Pieter Ell langsung melaporkan tindak pidana tersebut ke Polda Metro Jaya. “Saya dipukul oleh kayu di bagian belakang. Juga staf saya dikejar-kejar oleh preman-preman tersebut,” jelasnya.
Pieter yang juga Ketua DPC Peradi Jayapura ini menjelaskan, saat ini penyidik telah memeriksa dirinya dan staf yang ikut saat kejadian.

Antoni meminta, penyidik Polda Metro untuk segera menangkap pihak yang menganiaya Pieter Ell. “Kami sangat prihatin ada anggota kami yang dianaiaya. Tidak sulit sebenarnya bagi penyidik untuk menangkap pelaku tersebut,” tegasnya.
Dikatakannya, DPN Peradi telah menyurati Kapolri dan Kapolda Metro Jaya untuk bisa benar-benar memberi atensi mengungkap kasus tersebut. “Rencananya, kami akan menemui Kapolda Metro Jaya untuk menanyakan perkembangan kasus tersebut,” tambahnya.
Sementara itu, Hendrik Jehaman Wakil Ketua Umum DPN Peradi menegaskan bahwa Peradi tidak mentolerir segala bentuk intimidasi dan kekerasan terhadap anggotanya, apalagi saat menangani suatu perkara.
“Memakai preman untuk menghalang-halangi pihak lain, apalagi dengan kekerasan adalah cara-cara kotor. Tidak mungkin preman-preman bisa berkumpul di sana kalau tidak ada yang suruh atau bayar. Patut diduga, perusahaan tersebut yang bayar, siapa lagi?” tukasnya.
Karenanya, PT SIP juga harus dimintai keterangan. “Penyidik harus memanggil direksi PT SIP juga untuk dimintai keterangan,” tandasnya.
Kasus yang ditangani Pieter Ell telah bergulir sejak 1983. Total ada sekitar 13 perkara, baik tingkat PN, PT, dan MA, yang kesemuanya dimenangkan oleh ahli waris Alm. Djiun bin Balok, yang dalam hal ini diwakili oleh Alm. Nurhayati, SmHk.
Terakhir, Mahkamah Agung RI dalam putusannya atas perkara nomor 601K/Pdt/1986 tanggal 31 Oktober tahun 1987, dengan tegas menyatakan tanah adat seluas 10 hektar adalah milik ahli waris Djiun bin Balok dkk.
Pada 18 dan 25 September 2025 telah dilakukan upaya mediasi oleh Kantor Pertanahan Jakarta Timur, namun PT SIP tak kunjung hadir.
“DPN Peradi akan siap mengadvokasi anggota kami yang mengalami ketidaknyamanan saat menangani perkara,” tegas Antoni. (RN)











































