
Jakarta, innews.co.id – Dalam beberapa waktu terakhir, tercatat ada 60 perusahaan dengan total puluhan ribu karyawan gulung tikar. Pemutusan hubungan kerja (PHK) tak terhindari.
Dalam dunia usaha, pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan hal biasa. Ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, ketidakmampuan perusahaan membayar gaji karyawan dan menanggung biaya operasional lantaran penurunan omzet. Kedua, terjadi instabilitas internal perusahaan yang diakibatkan intervensi dari luar.
Ketiga, terjadinya konflik antara pemegang saham dengan direksi. Keempat, dua supplier mengajukan pailit ke Pengadilan Negeri agar perusahaan ditutup. Kelima, ada itikad buruk untuk menggarong hasil produksi dan mengemplang kredit di bank.
“Selama ini saya melihat mereka yang menyelesaikan masalah PHK memiliki ‘ilmu’ yang dangkal dalam persoalan tersebut,” kata pengamat ekonomi dan ketenagakerjaan Dr. John Palinggi, kepada innews, di Jakarta, Kamis (6/3/2025).
Masalah pailit umumnya diselesaikan oleh kurator. Sayangnya, banyak kurator begitu memahami hukum, tapi kurang mendalami celah dan trik dalam bisnis.
“Di dalam bisnis, harus dilihat berapa jumlah kreditnya. Misal, PT Sritex kredit sindikasinya US$ 350 juta (hampir Rp 5 triliun). Biasanya yang dijaminkan tanah, gedung, dan mesin-mesin produksi. Kalau tidak cukup untuk mengajukan pinjaman, biasanya pengusaha melakukan personal guarantee (jaminan pribadi),” terang Ketua Umum Asosiasi Mediator Indonesia (AMI) ini.
Jadi, kalau untuk membayar pesangon karyawan yang di PHK dikatakan, akan menjual aset perusahaan, artinya orang tersebut tidak paham. “Apa yang mau dijual, kan sudah dijaminkan ke bank?” sergah John yang juga mantan pengajar di Lemhanas ini.
Ganggu investasi
Langkahnya, pemerintah mengundang direksi perusahaan untuk membicarakan pesangon dan uang penghargaan bagi karyawan. Kalau ternyata pembicaraan buntu, maka panggil para pemegang saham. Tapi sebelumnya dicek dari akta kredit ke bank. Tidak perlu ditakut-takuti, bicara saja baik-baik.
“Kalau masalah PHK ini tidak diselesaikan, bisa mengganggu keamanan, ketertiban, dan menghambat investasi untuk masuk,” tegas mediator non-hakim di sejumlah pengadilan negeri di Indonesia ini.
Jadi, pemegang saham harus bertanggung jawab terhadap risiko yang timbul sesuai dengan porsi saham masing-masing. “Kalau ada itikad baik dari para pemegang saham, maka mereka tentu akan urunan untuk membayar pesangon dan lainnya,” tukasnya.
Menurutnya, para pemegang saham diatas 5 tahun sudah menangguk untung. “Penyelesaian PHK harus fokus penyelesaian sesuai aturan, tidak perlu ramai. Tidak akan selesai urusan PHK ini kalau dibawa dengan style politik atau kekuatan-kekuatan lain,” jelasnya.
Disampaikan, rata-rata pengusaha di Indonesia memiliki minimal dua kewarganegaraan. “Rata-rata perusahaan bicara pesangon kalau perusahaan sudah benar-benar tidak berproduksi. Harusnya, itu sudah dicadangkan sejak awal karena merupakan hak mutlak pekerja,” seru Ketua Harian Badan Interaksi Sosial Masyarakat (Bisma).
Ditegaskan, pengusaha yang tidak membayar pesangon karyawan harus di black list dan tidak boleh membuka usaha di Indonesia.
Peran mediator
John menekankan, jangan begitu PHK seolah dibebankan kepada Presiden, sementara si pengusaha sudah mengambil keuntungan.
Lebih jauh dikatakannya, guna menjembatani antara perusahaan dan buruh/karyawan, dibutuhkan peran mediator. Dengan begitu, maka bagaimana kondisi perusahaan akan dikomunikasikan dengan karyawan. Prinsipnya, sambung John, semua harus sama-sama bisa menerima dengan baik. Jangan juga buruh dikorbankan, apalagi diinjak-injak.
Di sisi lain, KADIN juga harus hadir dan membantu memberi solusi. Jadi, menuntaskan masalah PHK harus melibatkan kurator, pemerintah, dan ahli mediasi/negosiator. “Masalah PHK harus diselesaikan tidak dengan mengorbankan para buruh, melainkan harus memakai hati nurani,” pungkasnya. (RN)
Be the first to comment