Semarang, innews.co.id – Suatu karya cipta yang diambil dari simbol agama, termasuk karya yang dibuat untuk menghasilkan karya cipta baru, tidak memiliki hak cipta. Itu artinya, tidak ada perlindungan hak cipta, meskipun karya cipta tersebut telah dilakukan pencatatan ciptaan kepada Direkorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kementerian Hukum RI.
Hal tersebut disampaikan Dr. Suyud Margono, SH., MHum., FCIArb., saat memberikan keterangan Ahli pada perkara gugatan ganti rugi pelanggaran hak cipta atas karya fotografi berjudul “Morning at Prambanan” dalam perkara gugatan ganti rugi pelanggaran hak cipta fotografi yang teregister dengan nomor No.2/Pdt.Sus-HKI/2025/PN.Niaga.Smg, di Pengadilan Niaga, pada Pengadilan Negeri Semarang, Selasa (27/5/2025).

Sengketa yang terjadi antara Bambang Irawan (Penggugat) versus PT Candi Hotel Baru (Tergugat) qq Hotel Tentrem, Yogyakarta.
Disampaikan, perkara tersebut diawali ketika karya fotografi berjudul “Morning at Prambanan” dipublikasikan dalam website Hotel Tentrem, Yogyakarta, diduga merugikan Penggugat.
Selanjutnya diketahui “foto” yang dimaksud telah di take down. “Itu merupakan bentuk itikad baik dari Tergugat atas adanya somasi, maupun gugatan perkara a quo,” kata Suyud.
Dia menguraikan, sebagaimana perkara hak kekayaan intelektual (HKI) pada umumnya, berupa penghentian perbuatan (pelanggaran) yang merugikan pemilik hak sangat diutamakan. Meskipun hal ikhwal validitas kepemilikan/pengambilan karya fotografi tersebut merupakan objek yang mendapatkan perlindungan khusus, misalnya merupakan kekayaan budaya yang harus dengan persetujuan lebih dulu dari Pemerintah qq BUMN yang mengelola Kawasan Budaya (Contoh: PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko/PT TWC).
Dengan tegas Suyud mengatakan, tidak sertamerta obyek foto (dengan obyek Candi Prambanan) yang merupakan simbol keagamaan merupakan kekayaan intelektual (hak cipta) dari fotografer secara langsung sebelum melakukan pengambilan gambar/foto.
Dia mencontohkan, untuk objek hak cipta karya potret harus dengan ijin dan persetujuan pemilik perwajahan atau ahli warisnya sebelum dilakukan fotografi. Dengan demikian tidak sertamerta fotografi tersebut mendapatkan perlindungan hak cipta. Yang memiliki hak eksklusif karena Candi Prambanan sebagai obyek foto merupakan simbol keagamaan dalam segala bentuk tidak dapat diklaim sebagai hak cipta dari si fotografer (sebagaimana dimaksud Pasal 42 UU HC).
Suyud menegaskan bahwa publikasi foto “Candi Prambanan” dalam situs Hotel Tentrem tidak memiliki hubungan langsung berupa duplikasi/penjiplakan dari karya fotografi untuk kepentingan komersial (penjualan, distribusi, penyewaan) dan mengambil keuntungan. Hal tersebut hanya merupakan atau ditujukan untuk informasi edukasi dan informasi terkait wisata yang ada di Yogyakarta yang memiliki keindahan panorama Candi Prambanan, yang merupakan benda dari cagar budaya yang dilindungi. Kebetulan letaknya berdekatan dengan lokasi penginapan (hotel) dari Tergugat.
Lebih jauh Anggota Majelis Pengawas Konsultan Kekayaan Intelektual ini menerangkan bahwa gugatan ganti rugi, sesuai dengan ketentuan Pasal 99 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ditujukan untuk suatu pelanggaran hak cipta atau produk hak terkait.
Diuraikan, sehubungan adanya karya fotografi yang dilekatkan brand/merek tertentu digunakan dalam suatu platform, lalu digunakan pada platform lainnya, tidak lain karena memiliki kepentingan bisnis (kompetitor bisnis). Perbuatan tersebut lebih kepada praktik persaingan curang (bedrog).
“Ada ketidakjelasan gugatan yang diajukan atas adanya dugaan pelanggaran hak cipta. Karena ketidakjelasan ganti kerugian atas pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh Tergugat,” terangnya.
Akademi ini menjelaskan, sifat gugatan ganti kerugian dalam bidang hak kekayaan intelektual juga harus membuktikan adanya fakta perbuatan melawan hukum (PMH), khusus terhadap pelanggaran hak cipta milik pihak lain.
Pihak yang digugat harus terbukti:
- Terdapat/terbukti adanya suatu perbuatan melawan hukum (Pelanggaran atas UU Hak Cipta/UUHC)
- Terdapat/terbukti adanya perbuatan/ tindakan melawan hukum baik karena kesengajaan/kesalahan (mistake) atau kelalaian (negligence)
- Atas adanya pelanggaran dan adanya perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi Penggugat (baik langsung atau tidak langsung) kepada Pemilik Hak (dalam hal ini Pencipta/Pemegang Hak Cipta). Misalnya: penilaian, market riset, kehilangan keuntungan (loss of expected profit).
Dari keterangan tersebut, menurut Suyud yang juga Sekretaris, Badan Arbitrase Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM-HKI) ini, sebagaimana amanat Pasal 99 ayat (3) UU 28/2014 untuk menghentikan perbuatan pelanggaran dalam bentuk publikasi ciptaan adalah upaya yang perlu dilakukan, maka apabila Tergugat telah melakukan menarik postingan gambar/karya fotografi dalam platform tersebut, itu sudah merupakan consent untuk menyelesaikan kasus tersebut.
“Karena obyek yang diperkarakan sudah di take down, maka harusnya gugatan tidak dapat diterima (gugur). Namun sebagaimana amanat ketentuan Pasal 95 UU Hak Cipta, penyelesaian kasus ini seharusnya dapat mempertimbangkan penyelesaian sengketa alternatif (mediasi/konsiliasi) sehingga terjadi kesepakatan/perdamaian. Hal tersebut juga bisa dilakukan,” pungkasnya. (RN)