
Jakarta, innews.co.id – Jakarta Golf Club (JGC), bukan semata sebuah lapangan golf biasa, melainkan merupakan warisan bersejarah (heritage) yang luput dari perhatian berbagai pihak, termasuk pemerintah.
Dulunya, lapangan golf pertama di Indonesia dan terbesar di Asia ini berada di daerah Gambir, Jakarta Pusat. Dibuat pertama kali tahun 1872 yang dipelopori oleh A.Gray dan TC Wilson dan dijadikan tempat bermain golf para pejabat Belanda dan diberi nama Batavia Golf Club.
Sempat pindah ke Bukit Duri tahun 1911, sebelum akhirnya menetap di Rawamangun, Jakarta Timur, sejak 1934. Di masa pendudukan Jepang, tahun 1942, namanya dirubah menjadi Hoso Kyokai Golf Club. Namun, setelah Perang Dunia II, kembali mengalami perubahan nama menjadi Jakarta Golf Club.
Pada awal berdiri, lapangan golf hanya memiliki 9 lubang. Namun seiring waktu, lapangan ini ditingkatkan fasilitasnya. Termasuk pembangunan lapangan golf yang lebih modern, driving range, fasilitas klub, dan restoran.

Klub golf ini sangat populer, tidak saja di Indonesia, tapi sudah mendunia. Mantan Presiden RI Soeharto bahkan tercatat sebagai member klub ini pada periode 1963-1998. Bahkan, selama memimpin Indonesia, Soeharto menjadikan JGC sebagai tempat diplomasi dengan pemimpin-pemimpin negara lain. Sebut saja, Ferdinand Marcos, Lee Kuan Yew, hingga Tun Abdul Razak merupakan daftar kepala negara yang pernah bermain golf di JGC.
Sejak dulu JGC dikenal sebagai base camp-nya para pejabat negara untuk main golf antara lain, Mohamad Hatta (Wakil Presiden pertama Indonesia), Ahmad Soebardjo (Menteri Luar Negeri pertama), sampai Soepomo (Menteri Kehakiman sekaligus perancang konstitusi Indonesia).
Tak hanya itu, sejumlah pejabat bahkan pernah menjadi Presiden di JGC yakni, Laksamana E. Martadinata (Panglima Angkatan Laut), Ibnu Sutowo (Dirut Pertamina di era Orba), Soedomo (Pangkopkamtib), serta Bob Hasan (pebisnis).
Kondisi terkini
Sebagai heritage, JGC nampaknya tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Padahal, dari sisi perawatan lapangan dan lainnya cukup memakan biaya besar.

“Sebagai lapangan golf tertua dan terbesar di Asia, JGC telah menjadi ikon para golfer di Indonesia dan mancanegara,” kata Capt. Dr. Anthon Sihombing, MM., M.Mar., salah satu anggota JGC, di Jakarta, Senin (7/10/2024).
Menurut dia, harusnya JGC bisa mendapat bantuan dari Pemerintah Provinsi Jakarta. “Sebagai sebuah heritage, pemerintah harusnya memberikan perhatian terhadap pengelolaan JGC ini,” lanjut Anthon.
Klub golf ini menurut data, memiliki lebih dari 1.500 anggota. Tapi tentu tidak semuanya aktif, termasuk membayar iuran per tahun. “Di sini ada uang pangkal yang dibayar saat menjadi anggota dan uang iuran per tahun. Hanya saja pengelolaan keuangan JGC harus terbuka dan transparan, serta melalui audit independen,” seru politisi senior Partai Golkar ini.
Untuk itu, jelang Rapat Umum Anggota (RUA) yang rencananya akan diadakan pada 27 Oktober 2024 nanti, Anthon meminta agar pengurus untuk bisa memaparkan laporan keuangan yang sudah diaudit oleh akuntan independen. “Kalau kami melihat tidak ada perkembangan signifikan di JGC ini. Padahal, harusnya bisa pelan-pelan diperbaiki, tidak dibiarkan begitu saja, agar lebih memadai,” tukas mantan Ketua BURT DPR RI ini.
Di JGC sendiri, terdapat beberapa perkumpulan para golfer antara lain, Ale-Ale, Solid, JGC M, NBP, Bhineka, dan lainnya. “Pengelolaan JGC harus profesional. Karena itu dibutuhkan keberadaan Dewan Pengawas, sehingga pengelolaannya lebih memberi manfaat, baik bagi anggota, pekerja, maupun pengembangan JGC sendiri,” usulnya.
Tak hanya itu, menurut Anthon, seyogyanya klub-klub yang ada di JGC diajak membentuk kepanitiaan. “Anggota berkeinginan agar jumlah pemilih, tata tertib RUA bisa dibagikan ke anggota sebelum Hari-H. Demikian juga niatan membentuk Dewan Pengawas bisa diakomodir,” tegas Anthon.
Intinya, para anggota ingin pengurus JGC sekarang harus lebih terbuka dan profesional menggelar RUA ini. (RN)
Be the first to comment