Jakarta, innews.co.id – Sejumlah tantangan bagi advokat terkuak dalam memperoleh akses untuk keadilan (access to justice), pada pendidikan berkelanjutan yang diadakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) bekerja sama dengan Justitia Training Center (JTC), di Peradi Tower, Jakarta, Jumat, 13 September 2024.
“Memberikan keadilan kepada masyarakat esensinya merupakan tanggung jawab negara. Namun, bila mengharapkan aparat penegak hukum (APH) lain seperti jaksa, hakim, dan polisi, maka terkesan subjektif. Karena mereka dibayar oleh negara. Satu-satunya APH yang independen hanya advokat. Untuk itu, melalui advokat lah rasa keadilan bagi masyarakat akan dapat diperoleh,” kata Prof Otto Hasibuan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi, saat menjadi keynote speech, pada Pembukaan Seminar Nasional kerja sama Peradi dengan JTC.
Prof Otto menilai kegiatan ini sangat positif karena bisa memperlengkapi wawasan para advokat untuk memahami dan mendalami peran besarnya dalam membela klien. “Peran advokat tidak main-main. Meski kerap diobok-obok oleh pemerintah, namun advokat tetap menjadi pilar penting dalam menghadirkan keadilan kepada masyarakat,” serunya.
Sekitar hampir 1.000 orang mengikuti acara ini, baik secara luring maupun daring. Sebelum diskusi, dilakukan penandatanganan kerjasama antara Peradi dengan JTC yang diteken langsung oleh Prof Otto Hasibuan bersama Hermansyah Dulaimi bersama Andriansyah Tiawarman K, Presdir Justitia Training Center.
Tampil sebagai narasumber pada seminar yang dimoderatori oleh Happy SP Sihombing Waketum Peradi yakni, Hinca Panjaitan (Anggota Komisi III DPR RI), Prof Hikmahanto Juwana (Pembina JTC), Adardam Achyar (Ketum DPP Ikadin), dan Lia Alizia (Bidang Kerjasama Internasional Peradi).
Dalam paparannya, Prof Hikmahanto mengatakan bahwa advokat harus terus meningkatkan kemampuannya sehingga
“Access to justice merupakan gate (gerbang) bagi para advokat. Kalau tidak ada advokat, maka yang terjadi hanya one side saja,” ujarnya.
Padahal, para pencari keadilan juga perlu ditunjukkan atau dituntun untuk memperoleh akses terhadap keadilan.
Sementara itu, Hinca Panjaitan mengaku, cukup miris bila melihat banyaknya organisasi advokat (OA). Sebab, itu bisa menjadi kerugian bagi advokat sendiri.
Di sisi lain, Adardam Achyar dengan tegas membongkar borok-borok yang selama ini menjadi penghalang bagi advokat untuk memperoleh access to justice. Salah satunya adalah adanya upaya pelemahan advokat melalui SKMA 73 yang membuat menjamurnya OA. Padahal, amanat UU 18/2003 tentang Advokat jelas menyatakan bahwa Peradi ada wadah tunggal (single bar) bagi para advokat.
Belum lagi pengebirian hak imunitas advokat melalui KUHP yang baru. “Menelisik KUHP yang baru nampaknya profesi advokat rentan berurusan dengan hukum. Hal ini terdapat dalam beberapa pasalnya,” jelas Ketum Ikadin ini.
Sementara itu, Lia Alizia memandang pendidikan berkelanjutan menjadi bagian penting dalam memperkuat eksistensi para advokat.
Dalam jumpa persnya usai acara, Prof Otto Hasibuan berharap kerja sama Peradi dengan JTC ini bisa memperlengkapi para advokat dalam menjalankan perannya.
Ditanya soal materi apa saja yang akan disajikan dalam pelatihan, Presdir JTC mengatakan, itu disesuaikan dengan perkembangan hukum serta kemajuan teknologi. “Intinya, kerja sama ini diharapkan bisa meningkatkan profesionalitas advokat sehingga dapat membuka akses untuk keadilan,” tukasnya. (RN)
Be the first to comment