
Jakarta, innews.co.id – Awalnya, mungkin dalam benak Marthen Napang, terdakwa perkara dugaan penipuan, penggelapan, dan pemalsuan putusan Mahkamah Agung, tiga saksi yang dihadirkan di persidangan, Selasa (12/11/2024) lalu, setidaknya bisa meringankan hukuman dirinya. Namun apa daya, ketiga saksi tersebut, bukan meringankan, malah menambah keyakinan hakim bahwa Marthen benar-benar bersalah dalam perkara tersebut.
Pasalnya, ketiga saksi terkesan abu-abu dengan keterangannya, di depan Majelis Hakim, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Setelah diambil sumpah, ketiga saksi ditanya secara maraton, baik oleh kuasa hukum Marthen maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Saksi pertama Lisa Merry mengaku menyambangi kediaman Marthen pada 12 Juli 2017. Esoknya, dia sempat ketemu lagi di kampus Universitas Hasanuddin, Makassar. Kuasa hukum Marthen nampaknya mencoba ‘mencecar’ saksi dengan berkutat pada tujuan pertemuan dan lainnya. Diduga itu semata untuk mengaburkan keberadaan Marthen, yang sebelumnya diduga masih di Jakarta di tanggal tersebut.

Namun, JPU cerdik. Dengan sigap ia mengeluarkan manifestasi penerbangan yang menyatakan bahwa Marthen baru berangkat dari Jakarta ke Makassar pada 13 Juli 2017. Lantas, siapa yang ditemui Lisa pada 12 Juli? Patut diduga, kalau tidak Lisa lupa tanggal pastinya atau ada upaya brandstorming untuk mengaburkan keberadaan Marthen.
JPU terus mengejar Lisa terkait hal tersebut. “Saya punya bukti meyakinkan bahwa Mathen pada 12 Juli tidak ada di Makassar dan baru terbang pada 13 Juli. Anda punya bukti apa yang bisa mengeliminir bukti saya? Ingat ya, Anda sudah disumpah untuk berkata yang sejujur-jujurnya,” tanya JPU tajam.
Dengan nada ragu, Lisa menjawab, “Saya tidak punya bukti. Tapi saya merasa ketemu Prof Marthen sekitar tanggal segitu”.
Hakim menimpali, “Manifestasi penerbangan itu tidak bisa dibohongi. Artinya, Terdakwa benar terbang dari Jakarta ke Makassar pada 13 Juli. Karena, manifestasi itu tercatat kalau penumpang sudah boarding dan siap berangkat”. Lisa langsung bungkam.
Gelar Profesor
Saksi kedua, Prof Maskun, koleganya di Fakultas Hukum Unhas, mengaku tidak bertemu Marthen pada 12 dan 13 Juli. “Saya tidak ketemu beliau, tapi saya ada di kampus,” ujarnya.
JPU coba menanyakan terkait aktifitas Mathen sebagai pengacara. Maskun mengaku tidak tahu kegiatan Marthen di luar kampus.

Tapi, dengan tegas ia menyatakan, seorang dosen di Universitas Negeri yang adalah pegawai negeri sipil (PNS), tidak boleh memiliki pekerjaan lain di luar itu, termasuk beracara di pengadilan.
Hal ini kontradiktif dengan pernyataan Marthen di depan penyidik. Dia menyatakan memiliki kantor hukum. Itu artinya, Marthen telah melanggar UU ASN.
“Perguruan tinggi memiliki tridharma yakni, pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Bisa saja seorang dosen melakukan penyuluhan hukum atau sosialisasi secara gratis kepada masyarakat. Tapi tidak beracara di pengadilan,” tegasnya.
JPU juga sempat menanyakan gelar Profesor yang disandang Marthen. Dengan taktis, Maskun menyatakan, pada 2017 Marthen belum bergelar profesor. Patut diduga Marthen sudah memakai gelar profesornya sebelum dikukuhkan pada 18 Agustus 2022. Di berbagai acara, dirinya sudah menabalkan gelar Profesor, meski belum dikukuhkan.
Absensi dosen bertumpuk
Saksi terakhir, Kamaruddin, mantan Kepala Bagian Tata Usaha FH Unhas, dengan membawa bundel absen dosen nampak begitu yakin dengan kesaksiannya.
Saat buku absen ditunjukkan di depan Majelis Hakim, nampak jelas bulan Mei 2017 bertumpuk ke bulan Juni. Agak aneh kelihatannya. Kamaruddin menegaskan bahwa Marthen absen di kampus pada 12 dan 13 Juli 2017. Namun tampak stempelnya kurang jelas. Kamaruddin berdalih, orang yang memberi stempel kebetulan tremor dan saat ini sudah meninggal.
Sontak pengunjung sidang tertawa. JPU langsung menyatakan bahwa di sebagian tempat ada orang, termasuk dosen juga yang suka titip absen. “Apakah itu terjadi juga di tempat Anda?”
Sempat menunggu sekian detik, Kamaruddin menjawab, “Saat saya bekerja tidak ada yang demikian”.
JPU dan kuasa hukum terdakwa pun sempat bertanya soal absen yang bisa dibawa oleh Kamaruddin. “Apa benar sudah dapat izin dari pihak kampus?”
Kamaruddin menjawab, “Iya, saya sudah minta izin”.
Dari keterangan serta bukti yang ditampilkan nampaknya ketiga saksi begitu abu-abu. Justru terkesan memberatkan terdakwa. Apalagi ketiga saksi sudah disumpah dan bilamana kesaksiannya tidak benar, apalagi di rekayasa, ketiganya berpotensi terjerat hukum. Sidang saat itu, ibarat senjata makan tuan bagi Marthen Napang.
Sidang selanjutnya masih akan dihadirkan saksi dari terdakwa. Bisa jadi, saksi selanjutnya akan membuat Marthen Napang terjerembab lebih dalam lagi. Kita tunggu saja. (RN)
Be the first to comment