Jakarta, innews.co.id – Riset Setara Institute di 2024 mencatat, terdapat 130 permasalahan melekat di tubuh Polri, yang menuntut penyikapan sistematis dan berkelanjutan.
Meski pernah menyentuh angka 80%, namun belakangan riset Civil Society for Police Watch pada Februari 2025 mencatat tingkat kepercayaan publik terhadap Polri hanya menyentuh angka 48,1%. Begitu juga Litbang Kompas di angka 65,7 persen di Januari 2025.
“Itu artinya, institusi Polri masih menghadapi tantangan serius dalam menjalankan tugas utamanya,” kata Ismail Hasani Ketua Badan Pengurus Setara Institute, dalam siaran persnya, di Jakarta, hari ini.
Era kini, Polri aktif dan cekatan merespon perintah Presiden. Itu menjadi bagian kunci dalam implementasi Asta Cita, khususnya mendukung penguatan ketahanan pangan.
Beberapa respons yang paling menonjol adalah peningkatan hak atas rasa aman bagi warga atas tindakan premanisme. Terbaru, Polri juga memberikan dukungan institusional pada peningkatan pendapatan negara dengan membentuk Satuan Tugas Khusus Optimalisasi Penerimaan Negara.
“Jika Satgas ini bekerja efektif, maka Polri telah menjadi bagian penting dalam memastikan peningkatan penerimaan negara, penegakan hukum pada sektor hukum keuangan, dan sekaligus melimpahkan pelayanan publik, karena APBN yang semakin kuat akan mengakselerasi pelayanan publik yang berkualitas,” ujarnya.
Dijelaskan, dalam Indeks Inklusi Sosial Indonesia (IISI) Setara Institute (2025), institusi Polri juga termasuk lembaga negara yang responsif dalam merespons aspirasi publik dalam memenuhi kebijakan inklusif, khususnya inklusi sosial bagi perempuan, anak dan disabilitas yang diintegrasikan dalam kerja pelayanan, penegakan hukum, termasuk dalam bidang sumber daya Polri.
Pelembagaan tata kelola inklusif (inclusive governance) di tubuh Polri, juga dilakukan oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo dengan membentuk Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak (PPA) dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Langkah institusional ini akan mengakselerasi meningkatkan pelayanan masyarakat yang berkualitas.
“Diharapkan Polri tetap berada pada lingkup tugas utamanya. Jika pemerintah mengagendakan percepatan swasembada pangan, maka Polri akan lebih baik memastikan penegakan hukum pada sektor distribusi pupuk dan penegakan hukum atas kartel-kartel pangan, dibanding terlibat langsung dalam penanaman jagung dan padi. Jadi, dukungan Asta CIta Polri lebih fokus pada aspek-aspek hukum yang menghambat pencapaian obsesi kemandirian pangan dan ketahanan energi,” serunya.
Polri juga dituntut melakukan transformasi sistemik dan institusional untuk memastikan tiga tugas utama Polri benar-benar dijalankan secara presisi dan mendukung pencapaian agenda pembangunan nasional. Salah satu instrumen yang dibutuhkan untuk melakukan pembaruan dan transformasi Polri adalah penguatan sistem peradilan pidana melalui revisi KUHAP dan revisi UU Polri.
“Komisi III DPR RI semestinya menyegerakan revisi UU Polri sebagai instrumen transformasi Polri,” tukasnya. (RN)