Jakarta, innews.co.id – Sidang perkara Nomor 183/PUU-XXII/2024 mengenai uji materi Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, tengah bergulir di Mahkamah Konstitusi.
Rangkap jabatan Prof Otto Hasibuan sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) dan Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Republik Indonesia, dipersoalkan.
“Itu (gugatan) terkesan mengada-ada. Baiknya dibaca yang benar dan ditelaah dulu pasal yang menjadi dasar gugatan,” kata Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Peradi Kota Bandung, Dr (c) Muhamad Ali Nurdin, SH., MH., M.Kn., CRA., CLL., dalam keterangan persnya, di Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Advokat muda yang juga dikenal sebagai organisatoris ini menerangkan,
Pasal 28 ayat (3) UU Advokat tidak melarang pimpinan organisasi advokat (OA) merangkap sebagai pejabat negara. “Yang dilarang ialah pimpinan OA menjabat sebagai pimpinan partai politik (parpol). Sebab, rentan konflik kepentingan,” ujar Ali Nurdin.
Selain itu, lanjutnya, UU Nomor 39 Tahun 2008 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 61 Tahun 2024 tentang Kementerian Negara, tidak melarang pejabat negara merangkap sebagai pengurus organisasi profesi.
Dirinya tidak yakin bila seorang pemimpin OA sekaligus pejabat negara akan rentan terjadi konflik kepentingan. “Tidaklah! Jauh kalau begitu. Justru kalau orang parpol yang menjabat di OA rentan terjadi conflict of interest,” imbuhnya.
Lebih jauh Ali Nurdin menjelaskan bahwa dalam Pasal 20 ayat (3) UU 18/2003 dikatakan, “Advokat yang menjadi pejabat negara tidak melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan tersebut”.
Itu artinya, Prof Otto selama menjabat sebagai Wamen tidak berpraktek advokat atau cuti dulu sementara waktu. Hal itu linier dengan Pasal 3 huruf (i) Kode Etik Advokat Indonesia yang menyatakan bahwa seorang advokat yang kemudian diangkat untuk menduduki suatu jabatan Negara atau di pemerintahan tidak dibenarkan untuk berpraktek sebagai advokat dan tidak diperkenankan namanya dicantumkan atau dipergunakan oleh siapapun atau oleh kantor manapun dalam suatu perkara yang sedang diproses/berjalan selama ia menduduki jabatan tersebut.
Organisasi mandiri
Lebih jauh Ali Nurdin menjelaskan, OA bukan merupakan organisasi yang dibentuk dan dijalankan dengan dibiayai dari APBN dan/atau APBD, melainkan dibiayai secara mandiri dari iuran anggota dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Dan lagi, tugas dan kewenangan OA memiliki kekhususan yang berbeda dan tidak dimiliki oleh pejabat negara.
“Bagi saya, permohonan ke MK itu kurang tepat dan terkesan tendesius karena hanya membidik Ketum Peradi, sementara ada juga pembantu Presiden yang menjadi pimpinan organisasi lain. Apakah ini pesanan atau ada pihak-pihak yang dengan sengaja menghembuskan isu ini?” pungkasnya. (RN)