Jakarta, innews.co.id – Sudah menjadi rahasia umum, banyak pejabat di negeri ini bermental hedonisme (istilah anak muda ‘hedon’). Senang berhura-hura, mengenakan barang branded, selalu mau dapat fasilitas first class, kemana-mana dikawal patwal, bikin acara di hotel-hotel berbintang, dan lainnya. Padahal, yang digunakan adalah uang rakyat. Mental seperti ini perlahan harus dikikis. Salah satunya dengan efisiensi anggaran di kementerian/lembaga negara.
Ironisnya, niat baik Presiden Prabowo Subianto tersebut justru menuai cibiran, cacian, bahkan makian. Bahkan ada pengamat dan akademisi yang menuding Presiden dengan kata-kata yang tidak sepantasnya.
“Seorang pejabat itu adalah pelayan rakyat. Jadi, tidaklah pantas mereka seenaknya menggunakan uang rakyat, apalagi menggarongnya,” kata pengamat politik dan ekonomi nasional, Dr. John Palinggi, di Jakarta, Jumat (14/2/2025) lalu.
Menurutnya, langkah Presiden Prabowo memangkas anggaran di semua kementerian/lembaga sudah tepat, sekaligus merupakan suatu waning. Seolah Presiden ingin mengatakan, “Kita ini pelayan rakyat, maka dituntut harus bekerja keras dibalut kesederhanaan hidup”.
John beranggapan, efisiensi dimaksudkan agar pemerintah lebih memahami cara mengelola anggaran secara optimal demi kesejahteraan rakyat. Karenanya, anggaran yang tidak perlu sebaiknya dihapus.
Bahkan, John mengemukakan, bisa saja efisiensi anggaran merupakan upaya Presiden Prabowo untuk menguji para menterinya, apakah mampu bekerja secara efektif dan efisien.
Justru dirinya heran, saat keluar kebijakan penghematan anggaran, langsung heboh dan bersileweran komentar-komentar pedas, bahkan cenderung skeptis terhadap Presiden. Seolah-olah kebijakan ini merupakan cermin kegagalan Presiden Prabowo. Sampai-sampai, dalam sebuah pidatonya, Prabowo sempat menyebut, lantaran kebijakannya tersebut, ada ‘raja-raja’ kecil yang terganggu.
Reaksi berlebihan
Dirinya beranggapan, reaksi berlebihan yang muncul lebih karena kepentingan pribadi yang terganggu. Karena kalau itu demi kepentingan rakyat, harusnya mereka justru senang karena pemotongan anggaran diarahkan memperkuat pelayanan kepada rakyat.
Uniknya, lanjut John, ada pengamat yang juga dosen di universitas negeri, di mana gajinya dibayar oleh negara, malah mencaci maki Presiden dengan kata-kata yang tidak sopan.
“Sudah digaji oleh negara, malah mencaci maki Presiden sebagai Kepala Negara. Kalau sudah tidak mau jadi dosen yang dibayar oleh negara bilang saja. Jangan berlindung dibalik status dosen biar dikatakan kaum intelektual, sementara Anda sendiri menciderai Presiden. Tugas Anda itu mengajar dan membimbing mahasiswa agar memiliki akhlak serta moral yang baik,” ujar John dengan nada tinggi.
Ketua Umum Asosiasi Mediator Indonesia (AMI) ini menambahkan, fenomena sekarang, banyak orang merasa dirinya pintar, padahal ketika diselidiki, mereka tidak memiliki pekerjaan tetap dan bahkan kesulitan menghasilkan uang untuk sekadar membeli beras. Akibatnya, kejahatan yang muncul bukan sekadar kriminalitas biasa, tetapi kejahatan intelektual yang berbahaya.
Lebih jauh Ketua Umum Asosiasi Rekanan Pengadaan Barang dan Distributor Indonesia (ARDIN) ini menegaskan, sebagai warga negara seharusnya memiliki loyalitas, rasa hormat, dan dukungan terhadap Presiden. Memberikan kritik dan saran yang konstruktif tentu diperbolehkan, tapi melalui saluran yang tepat, bukan asal cawe-cawe diluaran, apalagi sampai menghina Presiden.
John mengibaratkan, “Jangan menawarkan pakaian kepada orang lain, sementara diri sendiri masih telanjang. Jangan jadi orang yang sok jago mengkritik pengkritik, padahal dirinya penuh kebusukan”.
Intinya, efisiensi adalah sesuatu yang positif. Bahkan, negara maju seperti Amerika Serikat saja jug menerapkan kebijakan yang sama.
Apalagi, kondisi Indonesia saat ini dapat diibaratkan sebagai sebuah kapal yang sarat dengan berbagai muatan. Salah satunya adalah utang luar negeri yang terlalu besar. Beban cicilan, baik pokok maupun bunga, semakin berat hingga berisiko mengalami keterlambatan pembayaran.
Selain itu, permasalahan pencurian uang negara masih menjadi beban hingga saat ini. John mereview, tahun 1998 lalu terjadi kredit macet sebesar Rp 450 triliun. Dari jumlah tersebut, hanya Rp 139 triliun yang berhasil diselamatkan melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sementara sisanya Rp 311 triliun, hilang tanpa jejak. Belum lagi kasus BLBI dan KLBI.
Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menyatakan bahwa beban negara akibat BLBI ini masih akan terasa hingga tahun 2043. Bila demikian, apakah masih pantas pejabat negara bergaya hidup hedon?
Parahnya lagi, para pengusaha kerap mengeluhkan kurangnya fasilitas dan dukungan, namun jika ditelusuri lebih dalam, kehilangan Rp 311 triliun ini justru melibatkan para pengusaha itu sendiri. Bahkan, kebanyakan pebisnis ngotot jadi pengurus organisasi pengusaha, supaya bisa dapat pinjaman dalam dan luar negeri yang pembayarannya ditanggung oleh negara. (RN)