Jakarta, innews.co.id – Sebanyak 18 masukan dari sekitar 196 Daftar Inventaris Masalah (DIM) disampaikan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) terkait revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kepada Komisi III DPR RI, pada rapat dengar pendapat umum (RDPU), di Ruang Rapat Komisi III, Gedung Nusantara 2, Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Dari usulan tersebut, hampir 100% diterima oleh Komisi III, bahkan sudah dimasukkan dalam RUU KUHAP yang tengah disusun. Hanya ada beberapa pasal yang perlu diperdalam untuk memperkuat usulan tersebut.

“Alhamdulillah, DPN Peradi telah memberi usulan terkait revisi UU Hukum Acara KUHAP kepada Komisi III DPR RI dan semua bisa diterima,” kata Ketua Harian DPN Peradi, R. Dwiyanto Prihartono, dalam keterangan resminya, usai RDPU.
Dwiyanto menjelaskan ada beberapa poin krusial yakni, soal penyadapan. Di mana hal tersebut dinilai telah melewati batas dalam konteks acara pidana yang umum. “Kalaupun penyadapan ada dalam regulasi lain seperti tindak pidana narkoba atau korupsi, silahkan saja. Tapi tidak pada tindak pidana umum,” katanya.
Juga soal pendampingan klien (khususnya tersangka), tidak seperti dimata-matai, melainkan diberi keleluasaan. “Silahkan saja melihat ketika advokat berdiskusi dengan kliennya, tapi tidak perlu mendengar hal-hal yang dibicarakan karena itu sepenuhnya kewenangan advokat dengan kliennya,” tegasnya.
Berikutnya, selama ini hanya tersangka yang boleh mendapat berita acara pemeriksaan (BAP), pihak lain tidak. Peradi menilai itu menyulitkan advokat ketika harus mendampingi saksi atau pihak lain diluar tersangka. Itu membuat pihak lain yang berhubungan dengan kasus tersebut.

Tak kalah penting diajukan terkait upaya praperadilan. “Kami menambahkan satu poin bahwa hasil penyelidikan bisa dipraperadilankan. Penyidik bisa mengeluarkan SP3. Harusnya bila dianggap tidak pas bisa dipraperadilankan,” terangnya.
Selain itu, Peradi juga meminta penyidik menghadirkan penerjemah dan ahli bagi penyandang disabilitas yang berperkara. “Selama ini di banyak kasus, penyandang disabilitas kesulitan menjelaskan karena tidak adanya penerjemah,” ujar Dwi.
Hal lainnya, Peradi meminta agar penyidik wajib memberitahu rencana penahanan kepada tersangka dan kuasa hukumnya. Dan, tersangka beserta kuasa hukumnya memiliki hak mengajukan keberatan dan wajib dipertimbangkan. Selain itu, tersangka atau kuasa hukumnya berhak mengajukan permohonan penangguhan penahanan/pengalihan jenis penahanan dengan jaminan orang atau uang.
Secara khusus Dwiyanto mengapresiasi RDPU yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman tersebut dan berharap dan berharap KUHAP sudah bisa diberlakukan di 2026 mendatang. (RN)