Jakarta, innews.co.id – Tindakan sepihak Kapolres Tana Toraja AKBP Budi Hermawan yang memimpin peletakan batu pertama pembangunan Mushola Aisyah di kawasan wisata religi Patung Yesus Buntu Burake, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, sementara tempat ibadah itu selain tidak memiliki IMB dan belum pernah disosialisasikan kepada masyarakat setempat, dinilai sebagai sikap intoleran.
Tak heran sejumlah komponen masyarakat ramai-ramai menolaknya dan meminta pembangunan dihentikan. Warga juga meminta tiang-tiang yang telah terpancang dibongkar.

“Persoalan ini bukan soal penolakan terhadap hak umat Islam membangun tempat ibadah, tetapi terkait prosedur dan etika. Pendirian rumah ibadah diatur dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang mensyaratkan adanya izin, dukungan masyarakat, dan rekomendasi dari FKUB setempat. Dalam kasus ini, seluruh tahapan itu diabaikan,” kata Wakil Ketua Bidang Advokasi Hukum & HAM Pemuda Katolik Komisariat Cabang Tana Toraja Alpian, dalam siaran persnya yang diterima innews, Rabu (11/6/2025).
Pemuda Katolik menyayangkan pelanggaran tersebut justru dilakukan oleh aparat penegak hukum sendiri yang harusnya sudah memahaminya sejak awal.
“Tindakan Kapolres Tana Toraja yang memimpin peletakan batu pertama pembangunan mushola di kawasan wisata religi Patung Yesus Buntu Burake adalah gegabah. Karena dilakukan tanpa pelibatan masyarakat lokal, pemerintah daerah, maupun tokoh agama, sehingga menciderai prinsip musyawarah dan mengabaikan sensitivitas ruang sakral umat Kristiani di Toraja,” serunya.
Dikatakannya, langkah Kapolres ini tak hanya melampaui kewenangan, tapi tidak menghormati kearifan lokal masyarakat Toraja. Selain itu juga membuka ruang bagi potensi konflik horizontal.
“Tindakan sepihak seperti ini mengganggu tatanan sosial yang selama ini dijaga dengan baik oleh masyarakat Toraja melalui nilai-nilai lokal yang menjunjung toleransi dan harmoni,” tegasnya.
Dia menambahkan, mengintervensi ruang keagamaan orang lain tanpa dialog adalah bentuk arogansi kekuasaan yang membahayakan.
Pemuda Katolik menilai tindakan Kapolres Tana Toraja tersebut terkesan mencerminkan sikap intoleran, karena mengabaikan pelibatan tokoh masyarakat dan pemerintah setempat dalam proses pengambilan keputusan.
Selain itu, sambungnya, Kapolres juga mengesampingkan hasil pertemuan yang telah dilaksanakan pada hari Senin lalu, yang melibatkan pemerintah kelurahan, tokoh adat, tokoh agama, dan unsur masyarakat.
“Salah satu poin penting dalam kesepakatan pertemuan tersebut adalah pembongkaran bangunan yang menjadi sumber persoalan. Namun, kesepakatan ini diabaikan begitu saja oleh Kapolres, tanpa pertimbangan terhadap aspirasi dan kearifan lokal yang telah disepakati bersama,” tutur Alpian.
Karenanya, Pemuda Katolik Komisariat Cabang Tana Toraja meminta Kapolri mencopot Kapolres Tana Toraja.
“Ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik pada institusi Polri. Negara tidak boleh menormalisasi pendekatan semena-mena dalam urusan sepeka ini,” tukasnya.
Ditegaskan, kehidupan harmoni masyarakat Toraja yang diwariskan oleh leluhurnya sangat tuntas dalam tongkonan dan selalu dirawat.
“Kerukunan antarumat beragama tidak bisa dibangun melalui simbol dan keputusan sepihak. Ia tumbuh dari keterbukaan, pengertian, dan rasa hormat terhadap keyakinan satu sama lain. Jika aparat justru menjadi sumber kegaduhan, maka yang terancam bukan hanya ketertiban, tetapi juga kewibawaan institusi negara itu sendiri,” pungkasnya.
Hingga berita ini dirilis belum ada pernyataan resmi dari Kapolres Tana Toraja. (SR)