Serpong, innews.co.id – Meski telah terdapat standar valuasi (penilaian) kekayaan intelektual (KI) yang bersifat intangible, uji tuntas aset kekayaan intelektual (Intellectual Property/IP Asset Due Diligence) tetap menjadi penting. Tidak saja dari sistem registrasi (pendaftaran) saja, namun dalam praktiknya, uji tuntas dapat memberikan update informasi terkait data kekayaan intelektual.
Hal tersebut dikatakan Dr. Suyud Margono pada Training on Intellectual Property Valuation Course, di BSD, Serpong Tangerang, 21-22 April 2025 lalu.
Suyud menjelaskan, update informasi yang dimaksud terkait data kekayaan intelektual. Apakah itu soal statusnya, sudah terdaftar atau masih tercatat, update nama pemilik, pemegang hak, pemegang lisensi, status kekayaan intelektual, dan lainnya. Apakah telah berakhir, dilisensikan, atau sedang dijaminkan, dan lainnya.
Terkait regulasi aset kekayaan intelektual dapat sebagai objek jaminan utang, Suyud mengapresiasi diterbitkannya Standar Penilaian Indonesia (SPI) Nomor 321 tentang Penilaian Kekayaan Intelektual untuk Tujuan Penjaminan Utang.
Meski dalam praktik penilaian terhadap kekayaan intelektual masih sebagai objek jaminan tambahan, bukan objek jaminan pokok atau jaminan utama, karena penjaminan dalam layanan/jasa perbankan dan lembaga keuangan masih sebagai second way out untuk memperkuat keyakinan bank atau lembaga keuangan kepada nasabah (debitor).
“Dengan adanya implemented regulation dari Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2022 sebagai peraturan pelaksana UU No 24 tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, memberi keyakinan bagi investor. Perlu juga melibatkan tidak saja profesi Penilai perlu juga melibatkan profesi Konsultan KI yang merupakan bagian dari sistem valuasi aset berbasis kekayaan intelektual, sehingga dapat sebagai objek jaminan utama (pokok).
Lebih jauh Suyud Ketua Umum Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (AKHKI) periode 2020-2024 ini menguraikan ikhwal dasar kekayaan intelektual dapat dijaminkan (objek jaminan fidusia), di mana secara normatif telah diberlakukan pada UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten dan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Hak Terkait.
Pada Pasal 16 ayat (3) UU 28/2014 ditentukan bahwa “Hak Cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia” dan Ketentuan Pasal 108 ayat (1) UU 13/2016, “Hak atas Paten dapat dijadikan sebagai objek jaminan Fidusia, yang notabene pemberlakuan dan pelaksanaannya berdasarkan sebagai hukum normatif jaminan fidusia”.
Suyud mengatakan, praktik IP Due Diligence dari profesi Konsultan KI, dengan melakukan mitigasi kepemilikan kekayaan intelektual berbasis registrasi (IP registered) maupun rekordasi (IP recordation), yang ditujukan jaminan yang bersifat intangible (Fidusia) bagi bank atau non-bank, di antaranya:
Kekayaan Intelektual dicatat dan didaftarkan serta informasi kepemilikan yang dapat diakses oleh publik;
Sertifikat dan Bukti Kepemilikan (Nomor Pendaftaran maupun Nomor Pencatatan);
Produk Berbasis KI bernilai atau dapat dinilai berdasarkan standar valuasi (SPI – 321 Penilaian Kekayaan Intelektual Tujuan Penjaminan Utang);
Update perubahan informasi atau data Kekayaan Intelektual berupa Pemilik, Pemegang Hak, Pemegang Lisensi Kekayaan Intelektual;
Status Kekayaan Intelektual (Telah Berakhir, Dilisensikan, sedang dijaminkan (jaminan Fidusia, dll);
Jangka Waktu Kepemilikan, Pengalihan Hak dan Perlisensian Kekayaan Intelektual (jika ada).
“Sebagaimana dipahami bahwa Fidusia merupakan norma kepemilikan benda (bergerak) sebagai jaminan, hal mana benda yang dijaminkan tetap berada pada penguasaan pemilik benda, dalam hal terjadi peristiwa default event penyelesaiannya berupa pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia, berdasarkan ketentuan Pasal 30 UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia), untuk aspek litigasi dan penegakan hukum.
“Dalam hal kekayaan intelektual sebagai aset (objek) penjaminan (Fidusia), diperlukan pula validitas hubungan pihak-pihak (Trust Relationship between the Parties), khususnya terhadap kewajiban pembayaran hutang dengan jaminan, berdasarkan perjanjian maupun perikatan,” pungkasnya. (RN)