Jakarta, innews.co.id – Diajukannya revisi terhadap suatu produk Undang-Undang menandakan pembuatnya kurang cakap dalam membuat regulasi. Hal ini disayangkan karena membuat tugas para Hakim di Mahkamah Konstitusi menumpuk.
“Saya menilai pembuat UU kurang credible dan memahami substansi dari suatu produk aturan. Ini bisa jadi karena latar belakang keilmuannya yang kurang mumpuni atau pemahamannya akan suatu regulasi tidak disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Atau bisa jadi UU yang dibuat pesanan sehingga harus ngebut,” kata praktisi hukum senior dan pakar hukum pidana ahli hukum pidana/perdata, Prof. Dr. Suhandi Cahaya, SH., MH., MBA., dalam keterangan persnya, di Jakarta, Senin (2/6/2025).
Seperti diketahui, hingga Mei 2025, MK menerima permohonan pengujian terhadap 95 Undang-Undang. Sekitar 91 di antaranya sudah teregister, sementara sisanya belum. Tahun lalu, ada 189 permohonan yang diuji.
Dari jumlah tersebut, setidaknya ada 36 UU yang konstitusionalitasnya diuji. UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI menduduki urutan pertama yang dipersoalkan ke MK, sebanyak 17 perkara. Di urutan kedua, UU No 1/2025 tentang Badan Usaha Milik Negara, sebanyak 8 perkara.
Selanjutnya, UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (5 permohonan), UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI, UU No 7/2017 tentang Pemilu, UU No 11/2021 tentang Kejaksaan, serta UU No 17/2004 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), masing-masing 4 permohonan.
Lainnya, ada beberapa UU yang dimohonkan pengujiannya dalam dua atau tiga perkara, misalnya UU Kementerian Negara, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Hak Cipta, UU Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja, dan UU PTUN.
Menjadi pertanyaan, kenapa UU tersebut harus diuji kembali di MK? “Artinya, mungkin UU yang dibuat oleh legislatif bersama pemerintah itu tidak begitu tajam atau tidak begitu valid, sehingga musti diuji kembali oleh MK,” ujar Suhandi.
Menurutnya, itu bukan suatu yang gampang. “Saya menilai, salah satu faktornya karena luasan ilmu pembuat UU masih setara S1, sehingga cara berpikirnya tentu berbeda dengan mereka yang sudah S3. Harusnya, pembuat UU itu (misal: Komisi III DPR RI) kebanyakan dihuni oleh mereka yang mencapai S3. Kalau masih S1, rasanya untuk mencapai UU yang bagus atau sempurna, sangat sulit,” tegasnya.
Baginya, latar belakang pendidikan akademis seseorang mempengaruhi pola pikir dan cara pandang, termasuk dalam membuat suatu produk UU.
Dia mengingatkan agar legislatif tidak
membuat UU berdasarkan “pesanan” atau “kepentingan”. Sebab kalau ada pesanan dan kepentingan jadi tidak murni lagi isi dari UU itu dan tidak bagus. Mengalir saja sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Kinerja MK bagus
Suhandi memuji kinerja para Hakim MK yang menurutnya sudah demikian baik. “Itu karena para Hakim MK rata-rata S3, sehingga memudahkan dalam menelaah suatu gugatan. Sehingga dalam membuat keputusan pun hasilnya baik,” imbuhnya.
Bahkan, dirinya membandingkan produk yang dibuat oleh legislator dengan putusan para Hakim MK bak bumi dengan langit.
“Saya banyak mempelajari putusan-putusan MK, pertimbangannya valid dan sesuai dengan norma hukum dan perkembangan, tukasnya.
Dia tidak yakin kalau Hakim MK bisa ‘dibeli’ demi menggolkan suatu revisi UU.
Kembali Suhandi mengingatkan, pengujian UU lantaran isinya terlalu standar. Karena sebuah regulasi bila sudah bagus dari segi sosiologis, filosofis, sesuai kebutuhan, serta sudah memenuhi rasa keadilan, tidak perlu lagi diuji.
“Saya berharap, kualitas Hakim MK bisa dipertahankan, termasuk dari sisi kemampuan akademisnya. Mungkin kedepan ditingkatkan sehingga Profesor yang melakukan pengujian. Bahkan, hakim-hakim di PN dan PT standar minimalnya S3 agar kualitas putusan yang dihasilkan juga semakin baik lagi. Sebab, kalau hakim-hakimnya mumpuni, tentu kualitas hukum di Indonesia akan baik,” pungkasnya. (RN)